“Selama ini kita cuma berhenti pada sekedar iba pada penyandang cacat”
Sebentar lagi kita memperingati Hari Penyandang Cacat Internasional pada tanggal 3 Desember 2012. Hari yang ditetapkan oleh PBB pada tahun 1992 itu kini masih terasa samar-samar terdengar di Indonesia. Berita tentang penyandang cacat sepertinya tidak menarik banyak orang. Perhatian pada penyandang cacat selama ini juga lebih berdasar rasa iba atau perasaan lain yang sebenarnya macet sampai di situ saja. Para penyandang cacat di Indonesia masih harus bergelut dengan dirinya sendiri. Peranan negara masih jauh dari harapan. Penyandang cacat masih mendapat perlakuan diskriminatif dalam banyak hal dalam kehidupan sehari-hari.Padahal kalau kita baca Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dalam Bab III Pasal 5 menyebut: “Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.” Dan demikian juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998, khususnya pasal 1 (ayat 1) dengan tegas dinyatakan bahwa, sebagaimana warga masyarakat lainnya, penyandang cacat “berhak mempunyai kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban dalam berperan dan berintegrasi secara total sesuai dengan kemampuannya dalam segala aspek kehidupan dan peng hidupannya.”
Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk sebesar 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari perkiraan jumlah sebesar itu, hanya sebagian saja yang mendapat perhatian pemerintah atau dari kalangan swasta lewat organisasi sosial kemasyarakatan.
Benarkah selama ini kita masih dalam paradigma belas kasihan saja pada para penyandang cacat dan belum pada paradigma hak asasinya?
Definisi penyandang cacat tidak perlulah saya uraikan di sini. Yang jelas mereka itu punya keterbatasan dalam hal mental, sensorik, atau secara intelektual. Kecacatan mereka bisa dalam berbagai bentuk penampakan fisik dan kecacatan itu menghalangi mereka untuk melakukan segala sesuatu yang bagi sebagian masyarakat dianggap biasa dan normal. Tapi jangan lupa, meskipun mereka berbeda karena faktor kecacatan mereka, namun mereka tetap punya kepribadian utuh. Punya emosi, pikiran atau kehendak hidup yang sama sebagaimana manusia normal.
Kapan kita bisa dengan serius memperhatikan hak asasi mereka-mereka yang kurang “beruntung” itu?
Peranan walikota, organisasi sosial, organisasi profesi, pengusaha dan pemerintah sendiri amat diharapkan dan lebih baik lagi kalau peranan itu ditetapkan dengan undang-undang sebagai kewajiban yang mengikat dalam hal penyediaan fasilitas sehingga bisa digunakan secara sama oleh para penyandang cacat.
Sementara ini para penyandang cacat dan keluarganya bersikap pasrah dengan keadaan mereka. Bahkan merasa malu dengan kecacatan mereka atau anggota keluarganya. Seolah kecacatan mereka adalah suatu hal yang harus mereka terima. Sebagian besar belum menuntut hak-hak mereka karena kesadaran akan hak-hak mereka sebagai sesama warga negara masih lemah.
Di negara maju, hampir di setiap fasilitas umum menyediakan sarana dan prasarana bagi para penyandang cacat agar mereka memperoleh akses yang sama. Fasilitas bagi penyandang cacat itu bisa kita jumpai di mall, rumah sakit, sekolah, trotoir, transportaasi umum hingga taxi khusus, bahkan mobil pribadi. Hampir setiap hotel ada kamar yang didesign khusus bagi para penyandang cacat. Mereka juga memperhitungkan cara-cara dan prosedur evakuasi para penyandang cacat bila terjadi kebakaran di hotel. Jadi hak-hak dan keselamatan para penyandang cacat ini juga diperhatikan dengan baik.
Bahkan pemerintah melatih mereka sebagai tenaga trampil sesuai kecacatan mereka dan membantu mencarikan bidang pekerjaan yang berkesesuaian. Untuk menarik pengusaha agar mau memperkerjakan para penyandang cacat ini, pemerintah menyediakan subsidi khusus. Jadi perusahaan mendapat bantuan dana untuk menggaji para penyandang cacat.
Bagi pemerintah, penyandang cacat yang bisa bekerja ini amat memanusiakan dan menghormati harga diri para penyandang cacat. Penyediaan prasarana dan sarana ini memungkinkan bagi para penyandang cacat untuk bisa hidup secara mandiri dan merasa berfungsi sebagaimana manusia seutuhnya. (HBS)
Lihat Kasus:
Video satu kasus penderita cacat. Seorang bocah merawat ibunya. Jika saja ibunya menderita cacat seumur hidup hingga anak ini besar, kira-kira bagaimana nasib anak berumur lima tahun ini nantinya? Satu kasus diantara sekian puluh bahkan ratusan kasus lain yang perlu mendapat perhatian pemerintah dan kita semua dalam menghargai hak para penyandang cacat.
https://www.youtube.com/watch?v=i8URNv83P4Y&feature=endscreen&NR=1