Itu cuplikan judul berita yang dimuat di detik.com, Sabtu, 29/12/2012. Terkesan sangat provokatif dan norak. Membaca berita tentang perselingkuhan hakim dengan initial ADA, membuat saya terheran-heran. Terlepas apakah tindakan itu bermoral atau tidak, tapi betapa banyaknya orang-orang yang bersikap hipokrit bila berhubungan dengan masalah moral. Apakah hal ini menggejala di hampir lapisan masyarakat? Jika benar, apakah bangsa kita ini adalah bangsa hipokrit? Bangsa yang munafik?
Belum habis berita tentang Aceng yang dikabarkan menceraikan isterinya yang dinikahi cuma empat hari dengan alasan karena tidak perawan. Belum lagi kasus-kasus korupsi pejabat tinggi di pusat yang ramai dengan silat lidah dan lempar tanggung-jawab. Isu-isu kawin siri para pejabat daerah yang sepertinya makin meluas terkuak. Rasia-rasia polisi yang dilakukan di hotel-hotel berbintang melati dan menahan oknum-oknum yang dianggap selingkuh di situ. Guru SD yang foto bugilnya disebarkan lewat FB. Video ibu-ibu selingkuh yang beredar lewat HP. Kini giliran para hakim jadi sorotan.
Kasus-kasus di atas mengundang polemik di media massa. Banyak yang menilainya tidak bermoral, melecehkan wanita, tidak punya hati nurani, tindakan asusila, tidak bermartabat dan sebagainya.
Dan pelaku korupsi masih ngotot bahwa dirinya tidak melakukan korupsi meski uang yang dikelolanya raib bermilyar-milyar rupiah tanpa jejak, Gubernur Aceng bersitegang mempertahankan bahwa dirinya tidak bisa disalahkan dengan alasan yang mengingkari akal sehat, mengucapkan selamat Natal juga dikatakan haram oleh MUI, Roma Irama yang diisukan berpoligami secara luas di media massa tapi mencalonkan Presiden. (tentang Oma Irama masih kuat di ingatan kita tentang goyang ngebornya Inul yang mengundang polemik).
Ada apa dengan masyarakat kita? Apakah standar moralitas kita demikian lentur, ambivalen, ganda, bias, double standard, pilih kasih? Atau malah tidak ada standar moral sama sekali. Moral tergantung pada kekuasaan dan uang? Tergantung bagaimana orang menterjemahkan situasinya? Apakah acuan moral kita saat ini sebenarnya telah sama-sama kita lecehkan keberadaannya. Masalah moral adalah obyek kelakar yang enak sambil makan di warung pinggir jalan. Karena kita sadar bahwa system yang ada adalah system yang munafik. Moralitas bangsa kita adalah moralitas yang munafik dan hipokrit. Dan kita menertawakan itu? Betapa menyedihkan bila semua itu benar.
Bila kita amati, banyak orang tiba-tiba jadi polisi moral. Judgement tentang moral orang lain dilakukan di mana-mana dan sepertinya tanpa rasa sungkan dan malu. Menuding orang lain tidak punya moral, seolah dia paling bermoral. Asal pakai atribut agama tertentu atau punya masa pendukung partai tertentu, bisa seenaknya menghakimi moral orang lain sebagai tidak bermoral, tidak beriman, tidak punya susila dan sebagainya secara sepihak.
Apakah sumber moral kita selama ini telah mengkrucut hanya pada satu sumber yakni agama? Sementara pemegang moral agama juga tidak punya kredibilitas lagi. Pinter ngomong tapi nol tindakan. Atau tindakannya malah melenceng dari apa yang diomongkan dengan dalih macam-macam sebagai usaha pembenaran diri?
Moral positif negara dan moral masyarakat umum (way of life) telah terdorong ke pinggir dan mengalami marginalisasi? Negara yang seharusnya tegas dalam memperlakukan moral positif di atas moral-moral lain dan bisa berfungsi sebagai penengah telah tidak lagi punya gigi karena keberadaannya yang korup? Para hakim sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang berfungsi sebagai penegak moral kini malah disorot karena jebloknya.
Judul-judul berita tentang moralitas hakim pun terkesan vulgar dan mengundang tawa. Selain judul di atas berikut judul lain mengenai berita yang sama:
• Hakim Cantik ADA dan Kisah Perselingkuhan Para ‘Wakil Tuhan’
• Temuan Komisi III DPR, Hakim Cantik yang Segera Dipecat Bak Artis
• Ketua PN Simalungun Kaget Hakim Cantik Selingkuh: Dia Tak Genit
• Ckckck… Hakim Cantik Selingkuhi Suami Hakim Teman Sekantor
Belum lagi kalau membaca komentar dari pihak hakim sendiri. Semua mengundang tanda tanya, kemana moral kita sebagai bangsa hendak dibawa? Berikut ini beberapa cuplikan isi beritanya:
Menurut Komisi Yudisial (KY), mereka yang terlibat skandal cinta berasal dari kalangan hakim hingga panitera.
“KY sangat prihatin dengan berbagai kasus perselingkuhan yang terjadi di sejumlah pengadilan. Selain beberapa kasus yang dilaporkan ke KY, banyak kasus temuan KY yang tersebar di berbagai daerah,” kata Wakil KY, Imam Anshori Saleh saat berbincang dengan detikcom, Sabtu (29/12/2012).
“Perselingkuhan ini dilakukan baik antar hakim, hakim dengan panitera atau staf. Juga antar staf dan sebagainya,” sambung Imam prihatin.
Tindakan asusila ADA ini diakui Ketua MA, Hatta Ali. MA sendiri pernah melakukan penyelidikan atas dugaan selingkuh tersebut tetapi hasilnya nihil.
“Inisial hakim ‘ADA’, adalah dituduhkan kepada salah seorang hakim yang bertugas PN Simalungun. Kalau terbukti ya, kalau tidak ya kasihan karena dia punya keluarga juga,” kata Ketua MA Hatta Ali, kemarin.
Menurut Ketua Pengadilan Negeri (PN) Simalungun, Sumatera Utara (Sumut) Abdul Siboro, ADA dikenal pendiam, tegas dan tidak genit.
“Saya kaget. Saya tidak menyangka sebab dia berwibawa dan tegas. Dalam bahasa pacaran, dia juga tidak genit,” kata Siboro saat dihubungi detikcom, Kamis (27/12/2012).
Kalimat penting yang menarik perhatian sengaja dicetak tebal dan miring untuk menekankan point-point penting dalam masalah ini.
Point pertama adalah perselingkuhan sepertinya sudah dilakukan layaknya pesta seks di negara antah barantah karena dilakukan hampir di semua jenjang jabatan dalam satu kantor yang disebutnya sebagai kantornya “wakil tuhan”.
Point kedua, alasan kasihan karena si pelaku sudah berkeluarga terkesan mengada-ada. Kalau hendak menegakkan moral, harus sesuai hukum yang digariskan. Berkeluarga apa tidak kalau tidak bermoral, hukum positif tetap berlaku tanpa pandang bulu. Moralitas seharusnya tidak bermuka dua, terkesan pilih kasih dan double standard.
Point ketiga, apa hubungannya antara tingkah laku genit dan selingkuh? Sebuah stereotype yang tidak pantas diucapkan oleh pihak pemangku hukum. Apakah kalau bertingkah laku genit itu pasti senang selingkuh? Kalau selingkuh karena genit itu salahnya perempuan? Genit pertanda moralnya dipertanyakan? Demikian ceteknya para penegak hukum itu dalam menilai moral seseorang? Lalu yang masuk dalam kategori tingkah laku “genit” itu yang bagaimana? Kalau ada wanita pakai celana pendek, patut disalahkan jika diperkosa? Karena memang dari dandanannya pasti senang berselingkuh? Atau wanita yang tidak pakai jilbab itu moralnya rendah?
Point-point di atas hanya sebagai ilustrasi mengutip apa yang ditulis di media massa. Mungkin terkesan menyepelekan masalah, karena dalam keadaan sebenarnya mungkin tidak sesederhana itu. Namun apakah kemungkinannya akan lain jika hakim dengan initial “ADA” itu tidak cantik tapi genit? Apa juga ada kasihan? Bagaimana kalau ADA genit tapi membawa atribut agama atau dari organisasi politik tertentu? Apa juga masih dinilai tidak bermoral? Betapa biasnya ukuran moral kita saat ini.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masyarakat kita kini sering mengalami marginalisasi dalam masalah moral. Karena dimensi moral yang ada cenderung dipaksakan untuk mengerucut hanya pada satu sisi dimensi yakni moral agama? Karena alasan itukah mereka lebih baik mendiamkan semua? Atau lebih senang malah menertawakan system moral yang ada? Karena tidak adanya system moral yang baku buat pegangan bersama sesuai konsensus sosial.
Jangan-jangan nanti ada aturan yang mewajibkan semua orang harus pakai sandal jepit merek dunlop. Yang tidak pakai sandal jepit sebagaimana ditetapkan, pantas digelendeng ke kantor polisi dan dipertanyakan kualitas moralnya? Lalu dimana hak kita sebagai manusia dewasa yang utuh punya hati nurani, budi pekerti, kesadaran pikir untuk bisa melakukan pilihan-pilihan atas hidup kita sendiri dan ikut serta dalam usaha membina kebersamaan hidup yang harmonis dan saling toleransi?*** (HBS)
Baca tulisan saya menyangkut moral di sini.
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/12/26/larangan-mui-dan-kedalaman-makna-toleransi-518919.html