- Bekas tukang mebel memang nampak pantas berbaur dengan masyarakat. Sumber foto: http://assets.kompas.com/data/photo/2013/05/28/0914553-jokowi-bagikan-kjs-620X310.JPG
Survei CSIS menyebutkan bahwa elektabilitas Jokowi mengungguli tokoh lain yang sudah mendeklarasikan diri sebagai capres maupun disebut-sebut akan maju di pilpres. Dari survei itu, elektabilitas Jokowi tercatat sebesar 35,1 persen, Prabowo Subianto sebesar 16,3 persen, Aburizal Bakrie alias Ical 7,4 persen, Megawati Soekarnoputri 5,9 persen, Jusuf Kalla 4,8 persen, Hatta Rajasa 2,7 persen, dan Ani Yudhoyono 0,9 persen. (http://nasional.kompas.com/read/2013/05/26/18345950/CSIS.Mayoritas.Publik.Tak.Masalah.jika.Jokowi.Nyapres.)
Jokowi terbukti angkuh kalau tidak mencalonkan dirinya sebagai presiden. Jokowi tidak mendengarkan suara rakyat yang secara statistik banyak mengharapkan agar dia jadi presiden. Jokowi selalu menolak setiap saat ditanya wartawan tentang keinginan rakyat tersebut. Sungguh suatu tindakan yang mencerminkan keangkuhan diri.
Malah dengan tegas, Jokowi bilang ia tidak mikir untuk jadi presiden.
“Ndak lah. Sampai detik ini, enggak mikir ke sana, enggak mikir, enggak mikir, enggak mikir, enggak mikir, enggak mikir, enggak mikir. Boleh dong saya enggak mikir,” kata Jokowi ketika ditanya wartawan tentang kemungkinan dirinya untuk jadi presiden. (http://nasional.kompas.com/read/2013/05/27/13513540/Jokowi.Enggak.Mikir.Enggak.Mikir.Boleh.Dong.Saya.Enggak.Mikir?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign=Geliat Politik Jelang 2014)
Sebuah pernyataan yang mengabaikan suara rakyat bahkan terkesan menyepelekan. Jokowi telah merasa berada di atas angin karena merasa dirinya telah populer dan dicintai rakyat banyak. Barangkali kali karena alasan itulah Jokowi, merasa yakin bahwa dia bisa jadi presiden kapan pun dia mau. Sebuah rasa optimisme yang merendahkan peranan rakyat.
Beda dengan Ahok yang secara terus terang mengatakan bahwa dirinya ingin jadi presiden. Tapi sayangnya nama Ahok tidak diikutkan dalam survei yang dilakukan oleh CSIS. Ahok yang ceplas-ceplos itu malah bicara jujur, apa adanya.
“Aku mau jadi presiden, bukan gubernur. Kamu tulis tuh, aku mau jadi presiden, bukan gubernur. Kamu tulis itu ya,” seloroh pria yang akrab disapa Ahok itu sambil tertawa.(http://nasional.kompas.com/read/2013/05/23/09534240/Basuki.Kamu.Tulis.Aku.Mau.Jadi.Presiden.Bukan.Gubernur)
Keterus-terangan Ahok patut dihargai. Dan dia pantas untuk jadi presiden. Karakter dan kapasitasnya Ahok sebagai pasangan Jokowi tidak diragukan. Semangat kerja dan keterpihakannya pada rakyat kecil tidak kalah dengan Jokowi. Ahok juga membudayakan komunikasi langsung, tidak basa-basi, to the point, dan mengundang diskusi logis. Budaya komunikasi institusi modern yang lugas tanpa ewuh pakewuh dan menfungsikan dengan baik customer service.
Alasan yang Dicari-cari
Jokowi selalu beralasan, dia menolak jadi presiden karena ingin membenahi DKI Jakarta. Sebuah alasan yang mengada-ada. Apakah jika jadi presiden, Jokowi aka cuek bebek tentang DKI Jakarta, halamannya sendiri? Cara pikir yang terkotak-kotak dan partial sekali. Jelas hal begini bukan model cara mikir Jokowi.
Menurut Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS Philips J Vermontes, jajak pendapat itu menanyakan apakah responden setuju atau tidak jika Jokowi maju sebagai capres meski masih menjabat Gubernur Jakarta. “Hasilnya, 53,9 persen responden setuju dan 27 persen tidak setuju,” kata dia saat jumpa pers di Jakarta, Minggu (26/5/2013). (http://nasional.kompas.com/read/2013/05/26/18345950/CSIS.Mayoritas.Publik.Tak.Masalah.jika.Jokowi.Nyapres.)
Keinginan rakyat sangat jelas dalam survei tersebut, bahwa mereka menginginkan Jokowi untuk jadi presiden dan meninggalkan posisinya sebagai Gubernur DKI. Terlihat sekali dalam survei tersebut kearifan rakyat. Mereka tidak berpikir sempit tentang dirinya sendiri dan daerahnya. Mereka berpikir demi kepentingan seluruh rakyat, tentang Indonesia. Mereka tidak berpikir tentang daerahnya sendiri atau ingin menikmati hasil kepemimpinan Jokowi bagi diri sendiri dan golongannya. Rakyat yang sederhana tersebut ternyata masih menghargai nilai-nilai berbagi dan kebersamaan. Mereka masih memikirkan tentang persatuan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Mereka tidak ingin sejahtera sendirian sementara daerah lainnya menderita.
Jika Jokowi jadi presiden justru ia malah bisa membenahi DKI Jakarta jauh lebih baik. Tidak saja DKI Jakarta, bahkan Surakarta dan juga kota-kota lain. Jika alasan Jokowi hanya ingin membenahi DKI Jakarta dan menolak keinginan rakyat, maka Jokowi bukanlah seorang pemimpin yang punya wawasan lebar. Tidak punya visi ke depan. Jokowi bukan pemimpin visionaris. Jangan-jangan jika jadi presiden, Jokowi akan menolak untuk mengurusi TKI di luar negeri dengan alasan ingin membenahi keadaan dalam negeri dulu?
Ternyata Rhoma Irama lebih peka dalam mendengarkan suara rakyat. Meski ia merasa bukan seorang superman, jika rakyat menghendaki dia jadi presiden ia siap dan semangat menunaikan amah rakyat tersebut. Kita butuh pemimpin yang mau dan bersedia mendengarkan suara rakyat semacam Rhoma Irama. Jokowi ternyata sama sekali jauh beda dengan Rhoma Irama. Jokowi bagai seorang pengendara sepeda motor bebek tapi pakai helm balap formula one. Telinganya tersumbat rapat. Helmnya terlalu kedap terhadap desingan suara rakyat sekecil apapun.
Masalah Rasa
Apakah penolakan Jokowi jadi presiden itu sebenarnya hanya karena masalah sebuah rasa yang akrab dengan kebudayaan Jawa yang disebut rasa “sungkan” atau rasa tidak kepenak sama tokoh-tokoh di atasnya.
Karena rasa sungkan itukah Jokowi menolak secara harus permintaan rakyat untuk menjadi presiden? Seperti seorang tamu Jawa yang ditawari hidangan minuman atau minuman selalu menolak dengan halus, “Sampun. Mboten usah repot-repot. Wong nembe mawon kolo wau sarapan…” (Sudah. Jangan repot-repot. Tadi barusan saja sarapan kok). Dan biasanya si tuan rumah tahu basa-basi itu. Hidangan tetap disiapkan. Toh, akhirnya diminum atau dimakan juga oleh si tamu.
Sikap Jokowi yang sok merasa sungkan itu terjadi saat ia menghadapi Gubernur Jateng, Bibit Waluyo. Jokowi menyalami Bibit dan memperlakukan Bibit sebagai seorang senior yang pantas dihormati. Jokowi merasa sungkan karena dia telah menjadi Gubernur DKI Jakarta, sebuah posisi secara strategis berada di atas seniornya itu. Saat ini Jokowi juga merasa sungkan terhadap Megawati dan SBY.
Jadi Jokowi bukannya menolak, tapi tidak mau mendahului para seniornya. Jika Jokowi bilang bahwa dirinya tidak mau memikirkan posisi presiden bukan berarti ia tidak bersedia untuk dicalonkan. Ia menghindari polemik dan kebingungannya sendiri. Rasa bingung adalah sebuah rasa yang paling tidak enak bagi Jokowi sebagai manusia Jawa.
Peluang Jokowi untuk jadi presiden amat besar. Hal ini bukan tidak disadari oleh Jokowi atau tokoh-tokoh partainya.
Sekali lagi menurut hasil survei, dukungan Jokowi tidak saja dari partainya sendiri tapi juga dari partai lain.
Jokowi yang selama ini didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga mendapat dukungan dari responden yang memilih partai selain PDI Perjuangan. Contohnya, 25 persen kader atau simpatisan Golkar mengaku akan memilih Jokowi. Adapun pendukung dari Partai Demokrat sebesar 32,5 persen, Gerindra 12,6 persen, Hanura 34,3 persen, PAN 27,3 persen. Bahkan, sebesar 60,5 persen kader/simpatisan PKS akan memilih Jokowi. (http://nasional.kompas.com/read/2013/05/26/18345950/CSIS.Mayoritas.Publik.Tak.Masalah.jika.Jokowi.Nyapres.)
Para pengurus PDI Perjuangan melihat fenomena dukungan terhadap Jokowi tersebut menyatakan menyerahkan sepenuhnya kepada Megawati terkait penetapan capres dan cawapres. Megawati akan memutuskan di waktu yang tepat, demikian menurut berita di media massa.
Jika Megawati masih menghargai bapaknya yang merakyat, pasti ia akan mencalonkan Jokowi sebagai presiden sebagaimana dikehendaki oleh rakyat banyak. Dengan menunjuk Jokowi, pamor Megawati secara simbolik akan terangkat di atas Jokowi, meskipun Jokowi telah menjadi presiden. Megawati bagai Betara Guru yang dihormati. Bahkan Megawati bisa dianggap sebagai Semar sebagai pemomong “raja-raja” Jawa.
Jika Menolak
Kesempatan besar bagi Jokowi untuk menjadi presiden ada hanya pada masa putaran pemilihan presiden dalam waktu dekat ini. Kesempatan dalam putaran berikutnya amat tipis. Jika Jokowi menolak atau tidak dicalonkan partainya untuk menjadi presiden, maka tidak ada lagi kesempatan ke dua bagi Jokowi. Bahkan rakyat tidak akan memilihnya kelak.
Hasil survei terbaru jelas rakyat menghendaki Jokowi untuk jadi presiden. Penolakan Jokowi akan mengecewakan mereka. Rasa kecewa itu akan diekspresikan jika ternyata presiden terpilih tidak menunjukkan prestasinya. Apalagi jika keadaan bertambah buruk, maka Jokowi dianggap sebagai tokoh yang ikut bertanggung-jawab. Jokowi akan dituduh secara emosional oleh rakyat sebagai biang kesalahan atas kemerosotan itu. Keadaan yang makin amburadul itu adalah kesalahan Jokowi karena menolak kemauan rakyat untuk menjadi presiden. Menolak mandat mereka.
Jokowi tidak akan lagi dipercaya jika ia mencalonkan jadi presiden di tahun 2019. Saat jadi Gubernur DKI saja sudah nggak mau beringsut, meski dikasih mandat oleh rakyat (sebagaimana menurut hasil survei). Apalagi kalau sudah jadi presiden, jangan-jangan rakyat tidak akan didengarkan suaranya. Apalagi bersedia beringsut dari kursi presiden yang jauh lebih empuk? Maka untuk amannya tidak usah milih Jokowi.
Barangkali Jokowi tidak ingin berbuat sesuatu yang mengejutkan. Sesuatu yang terjadi tanpa sangka-sangka, tanpa peringatan adalah hal yang tidak baik bagi budaya Jawa. Jokowi berusaha bersikap rendah hati. Pelan-pelan kulonuwun dan menggiring orang untuk membuka jalan dan memberi-tahukan keinginannya menjadi presiden agar bisa berperanan lebih luas demi rakyat. Jokowi tidak akan menunjukkan ambisinya secara terbuka. Bukan saja tabu bagi budaya Jawa, tapi juga menghindari rasa malu jika ternyata tidak terpilih.
Kata-katanya bahwa ia “Ndak lah. Sampai detik ini, enggak mikir ke sana,..”, adalah hanya kiasan untuk merendahkan dirinya sendiri di hadapan seniornya. Jika ternyata kemudian ia dicalonkan sebagai presiden oleh partainya, berarti bukan karena kemauannya sendiri atau ambisi pribadinya. Pencalonan tersebut adalah anugerah, kerelaan, kelegaan dari atasannya yang patut ia terima. Menonjolkan ambisi pribadi termasuk tabu di lingkungan budaya Jawa. Mendahului kehendak orang-tua atau tokoh yang dihormati juga tabu bagi Jokowi. Adigung adiguna adalah perbuatan yang tidak menunjukkan kemuliaan budi pekerti.
Sikap Jokowi yang rendah hati dan selalu kulonuwun bila ingin bertindak itu kadang ditanggapi secara beda oleh orang lain. Pertanyaan berulang-ulang dilontarkan ke Jokowi tentang sikapnya untuk menduduki posisi nomer satu di Indonesia. Dan jawaban yang diperoleh selalu sama. Hal ini sepertinya membuat Ahok tidak sabar.
Ahok yang secara terus terang mengaku ingin menjadi presiden adalah jawaban secara tidak langsung tentang ambisi Jokowi untuk jadi presiden. Atau paling tidak, Jokowi saat ini sedang dipersiapkan, dilobby oleh partainya untuk diajukan sebagai presiden.
Ahok pasti menyadari bahwa dirinya tidak mungkin bisa menjadi orang nomer satu. Bicaranya yang ceplas-ceplos bagai orang Singapore (demikian kata beberapa pembaca media on line) atau bergaya orang barat yang lugas, belum bisa diterima sepenuhnya oleh masyarakat luas yang masih senang bahasa basa-basi dan penuh tekukan kata.
Namun bukan berarti posisinya tidak penting. Justru karena sikap Ahok yang khas itulah yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia saat ini untuk menembus kebuntuan-kebuntuan. Daya dobrak Ahok amat diperlukan selama hal itu dibutuhkan. Masyarakat Indonesia lebih suka bicara pelan-pelan dulu, baru jika tidak mempan barulah didobrak. Inilah peranan Ahok – sebagai alternatif pembuka jalan kebuntuan. Sebagai pendobrak.
Ahok secara tersirat mendukung Jokowi untuk jadi presiden lewat ucapannya yang berambisi jadi presiden. Ahok tidak ingin menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk menggantikan posisi Jokowi, karena Ahok sadar bahwa dirinya secara budaya tidak akan bisa diterima sebagai orang nomer satu. Nomer dua boleh dan bahkan amat diperlukan. Jika Ahok bilang bahwa dirinya ingin jadi presiden, maksudnya adalah Ahok ingin menjadi Wakil Presiden RI, wakilnya Jokowi. Dan berita ini dilontarkannya dengan nada bergurau agar tidak membuat terkejut banyak orang atau sok mendahului kehendak pemimpin senior yang dihormati oleh Jokowi. Ahok ikutan merendah – sebagaimana Jokowi, tidak ingin menunjukkan ambisi pribadinya.
Bila Jokowi benar-benar ingin berbuat lebih banyak terhadap negara, maka inilah kesempatan baginya untuk membuktikan diri secara optimal yakni menjadi presiden 2014. Dukungan rakyat ada, dukungan partai lain ada, dukungan tentang model kepemimpinannya ada, keadaan sosial dan politik kondusif dengan karakter kepemimpinannya, pengakuan luar negeri juga ada. Momentum yang dipunyai Jokowi saat ini hampir semua sudah ada di puncak ketinggian, maka saatnya untuk dipakai sebagai pijakan menggapai bintang itu. Jika tidak sekarang, maka bintang itu mungkin tidak akan pernah tergapai lagi.
Monggo, pak Jokowi dados presiden. Sampun sungkan-sungkan. Saya pribadi lebih senang dipimpin oleh seorang tukang mebel daripada seorang pengacara, penyanyi, bintang film apalagi seorang dukun.***(HBS)