- Ilustrasi/Admin (Shuttertock)
INDONESIA dianggap sebagai negara ancaman dari utara. Itulah pendapat masyarakat Australia terhadap Indonesia hingga saat ini. Indonesia dengan penduduk sekitar 243 juta jiwa dibanding dengan Australia cuma sebesar 22,3 juta jiwa, maka tidak berlebihan jika Indonesia dianggap ancaman.
Dalam kasus Timor Timur, Australia dan Amerika pernah kuatir jika masalah Timtim tidak segera diselesaikan akan mengganggu stabilitas Asia. Timtim bagai Cuba di mata Amerika.
Masalah kapal imigran yang hangat dibicarakan dalam debat politik Australia, Partai Liberal mengusulkan agar para imigran gelap yang masuk ke perairan Australia dengan kapal tersebut sebaiknya dikembalikan lagi ke perairan Indonesia. Ada beberapa pembaca surat kabar yang menuliskan pendapatnya bahwa, mengembalikan kapal itu wilayah Indonesia dikuatirkan akan membuat marah Indonesia. Kemarahan dari Indonesia seolah menakutkan bagi penulis itu.
Dalam sejarahnya, kita bisa bertanya, “Pernahkah Indonesia benar-benar marah pada negara tetangga?”. Sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik untuk diteliti. Kalau tidak salah, Indonesia pernah marah pada Malaysia jamannya Soekarno dengan teriakan heroiknya, “Ganyang Malaysia”. Mungkin Indonesia juga marah pada Australia dalam kasus Timor-timur, tapi tidak menyuarakan slogan “Ganyang Australia”.
Pada jaman revolusi, tentu saja Indonesia marah pada penjajah. Perang dengan Belanda, Inggris dan Jepang. Tapi pemberontakan terhadap penjajah itu tidak bersifat nasional. Indonesia tidak mengirimkan tank, kapal selam, rudal, pembom ke negara penjajah.
Kemarahan Indonesia berikutnya adalah pemberontakan PKI yang menelan ratusan jiwa. Inipun bukan termasuk marah pada negara lain. Tapi bersifat domesik, politik dalam negeri.
Bila bisa disimpulkan, secara garis besar Indonesia tidak pernah menyerang negara lain dalam sejarahnya. Apalagi sampai mengorbankan ratusan jiwa. Indonesia pernah dikirim ke medan perang di Kongo lewat PBB. Itu mungkin pengalaman Indonesia perang dengan negara lain.
Indonesia bukan termasuk negara imperialis. Indonesia tidak kekurangan apapun sehingga perlu melakukan imperialisme terhadap negara lain.
Gejolak-gejolak tersebut di atas mungkin bisa dikategorikan mengganggu kestabilan nasional Indonesia. Tapi bisa disangsikan punya dampak menuju perpecahan Indonesia. Gejolak-gejolak tersebut lebih banyak berkisar pada masalah politik dalam negeri yang dilakukan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Mereka menempuh berbagai cara demi kelanggengan kekuasaannya. Indonesia seolah diciptakan nampak terpecah demi menciptakan legitimasi alasan politik kekuasaannya dengan menekankan pentingnya stabilitas nasional.
Warisan Belanda
Pada jaman Belanda, kestabilan Indonesia berhasil dipertahankan selama kurang lebih 350 tahun. Belanda yang jumlahnya cuma ratusan ribu jiwa di Indonesia bagaimana bisa menguasai seluruh Indonesia dengan penduduk ratusan juta jiwa?
Itulah pandainya Belanda dalam menciptakan kestabilan dalam negeri sehingga ia bisa menjajah tanpa gangguan berarti hingga selama itu. Jika ada pemberotakan sifatnya adalah kedaerahan karena sengketa yang berkaitan dengan kedudukan raja.
Metode yang mereka pakai adalah divide et impera, pecah-pecah dan kuasai. Belanda memecah-mecah kerajaan dan memberi keterbatasan hak-hak ekonomi dan politiknya. Dengan memecah-mecah kekuasaan kerajaan, Belanda dengan mudah menguasai dan mengadu domba sehingga tidak pernah terjadi persekutuan antar kerajaan di Indonesia yang amat potensial bisa melawan Belanda.
Masyarakat keturunan etnis Cina yang bergelut dalam perdagangan diberi label sebagai kelas khusus sebagai pedagang. Ekonomi dan jalur perdagangan lebih banyak dilakukan dan dikuasi oleh etnis Cina. Untuk mengontrol kekuatan ekonomi etnis Cina mereka dibatasi gerak politiknya. Etnis Cina pada hakekatnya hanya boleh berdagang, tidak berpolitik. Sementara para raja-raja punya kekuasaan politik memerintah di daerah kuasanya, dibatasi kegiatan ekonomi dan perdagangannya. Politik tanpa dukungan ekonomi tidak bisa bergerak banyak. Demikian juga kekuatan ekonomi tanpa didukung kekuatan politik hanya menjadi sebatas pedagang.Pada jaman pemerintahan Orde Baru, teknik Belanda tersebut diteruskan. Etnis Cina dibatasi kegiatan politiknya. Salah satunya adalah terbatasnya tempat untuk sekolah di sekolah milik pemerintah dan tidak boleh menjadi pegawai negeri. Etnis Cina hanya boleh sekolah di swasta dan jadi pedagang.
Jika terjadi ketidak-stabilan ekonomi, maka etnis Cina bisa dijadikan kambing hitam. Kerusuhan-kerusuhan sosial lebih banyak selalu merugikan kaum etnis Cina. Karena meruncingnya perang dingin antara kapitalis dan komunis, pada tahun sekitar 1967an, banyak etnis Cina merasa diusir dari Indonesia ketika disuruh memilih warga negara RRT yang komunis atau Indonesia.
Kestabilan kehidupan politik dan sosial dalam masa Orde Baru mengalami titik puncaknya. Kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan sepenuhnya dikontrol oleh pemerintah. Karena kestabilan itulah Indonesia mendapat gelar “Macan Asia” karena pertumbuhan ekonominya yang luar biasa pesat.
Masa Reformasi
Nampaknya masalah stabilitas nasional di Indonesia masih menjadi tujuan utama pemerintah reformasi. Meski jalan yang ditempuh berbeda. Kestabilan nasional dijaga lewat pengerahan moral. Masyarakat dianjurkan untuk memahami moral-moral agamanya masing-masing. Pada jaman Orde Baru orang yang berpakaian muslim jarang-jarang. Hanya sekolah-sekolah agama yang memakai pakaian keagamaan. Masyarakat yang pergi haji bisa dihitung jari dalam satu desa.
Pada masa reformasi hampir setiap jengkal tanah yang dilewati hampir bisa dipastikan akan berpapasan dengan orang berbusana keagamaan. Di daerah tertentu malah bisa ditangkap oleh hansip jika tidak berpakaian keagamaan. Dihakimi moralnya. Ketakutan ditanamkan lewat moralitas.
Media massa banyak mengekspose pesan-pesan moral. Ada selebritis yang membawa simbol keagamaan. Pemimpin agama menjadi kaya. Jika tidak lewat agama, masyarakat juga digiring untuk mendalami klenik. Moralitas yang lebih didukung oleh moralitas tradisional tanpa kelembagaan. Diciptakan ormas penanding untuk mengantisipasi agama bergaris keras. Peredaran narkoba tiba-tiba ada dimana-mana.
Masalah ekonomi dan politik diselesaikan dengan keputusan yang menyangkut moralitas. Semua itu hanya punya satu tujuan sama yakni menjaga kestabilan nasional. Kestabilan nasional telah menjadi tujuan dan bukan alat untuk mencapai kemajuan Indonesia. Oleh karena itulah kestabilan nasional lewat penekanan moralitas di Indonesia mendapat penghargaan internasional dan dianggap telah berhasil menjamin kerukunan umat beragama.
Stabilitas dalam banyak hal memang menjadi tujuan hampir semua negara di dunia. Karena dengan stabilitas bisa menjamin negara untuk berkembang secara ekonomi dan kehidupan masyarakat yang bebas cari gejolak sosial dan politik. Stabilitas adalah tujuan utama dari pemegang kekuasaan agar dapat legitimasi dari rakyat dan pendukungnya.
Jika Indonesia demikian terobsesi dengan masalah kestabilan nasional, dalam jangka panjang perlu dipikirkan ongkos untuk itu dan kemajuan bangsa Indonesia secara umum. Karena demi kestabilan pembodohan rakyat akan terus berlangsung. Kestabilan nasional hendaknya jangan sampai menghambat kreativitas masyarakat. Perlindungan pada masyarakat untuk bergerak dan mengekspresikan dirinya secara rasionil, bernalar dan logis saat ini sepertinya mengalami penekanan karena tekanan-tekanan moralitas negara. Orientasi stabilitas nasional meski perlu dijaga, tapi aplikasinya dalam masyarakat seharusnya dicari cara-cara yang lebih fleksibel dan mencerdaskan kehidupan masyarakat.
Jika kita lihat sejarah, Pancasila berhasil dirumuskan oleh Soekarno. Darimana Pancasila itu dirumuskan? Tentu saja dari budaya masyarakat Indonesia, dari dasar falsafah bangsa Indonesia yang memang sejak dulu sudah hidup rukun dan tidak pernah menjadi negara imperialis. Soekarno hanya perumus. Tokoh intelektual, negarawan dan berkarisma yang berhasil menyarikan intisari falsafah bangsa Indonesia.
Bagaimana falsafah Indonesia tersebut bisa disarikan dalam Pancasila? Peranan kerajaan Majapahit dalam memperkenalkan bahasa Melayu sebagai lingua franca ke seluruh wilayah kekuasaannya barangkali perlu diperdalam dan ditengok. Majapahitlah sebenarnya yang berhasil menyatukan rakyat Indonesia. Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya. Jadi bangsa Indonesia sebenarnya sudah menjadi sebuah kebangsaan pada jaman sebelum Belanda datang. Karena kepentingan Belandalah Indonesia menjadi tercerai berai. Hal itu memang diciptakan Belanda untuk menguasai Indonesia hingga 350 tahun.
Masyarakat Indonesia secara turun temurun sudah menyadari kesatuan antar etnis. Masyarakat Indonesia secara tradisi sudah terbiasa hidup berdampingan dengan berbagai etnis. Jika presiden Indonesia dijabat oleh orang Madura, Irian, Batak, Sunda, Jawa, Minang hampir bisa dipastikan tidak ada yang keberatan.
Jika saat ini Ahok sebagai pegawai negeri dan menjabat Wakil Gubernur dikaitkan dengan keturunan etnis Cinanya, hal itu hanya dilakukan oleh segelintir orang yang berdekatan dengan kekuasaan dan bukan oleh masyarakat Indonesia secara umum. Diskriminasi pada etnis Cina adalah bagian sejarah bangsa kita yang berhasil ditanamkan oleh Belanda dan dilanjutkan oleh Orde Baru demi tujuan praktis yakni kekuasaan politik. Anehlah jika pada saat negara kita sudah merdeka dan berkemauan untuk menuju reformasi masih memakai pendekatan Belanda dalam memperjuangkan kepentingan politik.
Sejarah Indonesia terpenting adalah perang pengaruh agama pada jaman kerajaan Hindu berjaya. Dari animisme, Hindu, Budha dan Islam. Meski menimbulkan konflik, namun sifatnya terisolasi dalam satu wilayah. Tidak ke seluruh Indonesia. Setelah kerajaan Hindu tersingkir, toh masyarakat kita masih merasakan kesatuan Indonesia. Naluri merasa dalam satu kesatuan bangsa itu sepertinya sudah tertanam dalam darah kita sejak jaman Majapahit. Bila tidak, maka dengan pecahnya kerajaan-kerajaan lokal, Indonesia tidak eksis lagi. Bahkan dengan penjajahan Belanda yang 350 tahun itu Indonesia masih bernafas dan survive.
Dalam sejarahnya, Indonesia sudah mengalami perubahan-perubahan mendasar. Indonesia telah menempuh perjalanan turun naik kebudayaan dan eksistensinya hingga kini. Mulai perang antar kerajaan, perang pengaruh agama, penjajahan Belanda, perang revolusi dan hingga kini perang melawan budaya global. Dan nyatanya Indonesia masih eksis hingga saat ini!
Stabilitas nasional Indonesia mana lagi yang hendak dicari jika sejarah ratusan tahun itu telah membuktikan bahwa Indonesia berhasil lolos dari perpecahan? Stabilitas yang didekte oleh kekuasan asingkah sebagaimana Belanda dulu? Stabilitas yang didektekan untuk menjaga kestabilan hegemoni internasionalnya?
Kestabilan nasional Indonesia hendaknya tidak mengorbankan rakyat Indonesia sendiri. Kestabilan nasional seharusnya memberi ruang gerak masyarakat Indonesia untuk tumbuh bangun dan memperdayakan kemampuannya hingga titik tertinggi. Negara harus mengutamakan kepentingan bangsanya sendiri sebelum bangsa lain karena alasan-alasan praktis. Dalam jangka panjang, jika pemerintah tetap membodohi masyarakat demi alasan untuk menjaga kestabilan nasional, maka bisa dipastikan bahwa negara kita selamanya tidak akan bisa mandiri. Selamanya akan didekte oleh bangsa lain. Persis pada jaman Belanda. Bangsa Indonesia tetap akan survive tapi tidak ada kemajuan berarti bisa dicapai.*** (HBS)