KITA semua senang pertandingan. Kita senang bisa mengalahkan orang lain. Kita senang meninggikan diri kita di atas orang lain yang kalah. Semua meruncing pada pertandingan kalah atau menang. Kesetaraan membosankan. Kita lestarikan pertandingan psikologis itu lewat event-event fisik internasional untuk memenuhi naluri pertandingan kita.
Kita hambat orang yang berjuang menginginkan kesetaraan. Harus ada pihak yang kalah dan menang. Dalam sejarah, banyak kita jumpai orang megnorbankan nyawa memperjuangkan kesetaraan.
Kesetaraan yang dimaksud di sini adalah perlakukan sama rata dalam bersosial tanpa memandang atribut yang melekat pada orangnya. Ada egalitas dalam perlakuan satu sama lain. Kesetaraan dalam memperoleh kesempatan. Siapapun boleh berdagang, duduk di posisi tertentu. Tentara, polisi, mahasiswa, umum kalau naik bus harus bayar. Tidak memperoleh keuntungan karena atribut yang dipakai. Tentu saja bayarnya bisa beda-beda. Polisi dan tentara mungkin punya kartu discount. Kesetaraan masing-masing menurut persetujuan umum dan hukum.
Orang takut dengan kesetaraan karena akan merampas keistimewaan-keistimewaan yang diterima. Informasi dikuasai agar orang lain tidak mendapatkan pencerahan yang mendukung mereka jadi setara. Orang miskin dipertahankan agar tetap miskin. Kita menikmati adanya orang miskin ini. Mereka akan memperlakukan kita macam bos hanya karena mereka kita upah seadanya. Kita menikmati keistimewaan atas manusia lain. Kita merasa di atas orang lain. Kita tinggikan posisi di atas orang lain karena kemiskinannya. Kita buat mereka buta informasi agar tidak menyadari hak-hak yang mereka punyai. Kita bungkam mereka sebelum bisa bicara.
Kesetaraan memang hanya ada di dunia demit. Tidak ada kekuatan di manapun yang bisa menjadikan kesetaraan itu menjelma di dunia dan jadi fakta. Kemanapun kita pergi di seluruh dunia, di bawah kolong langit, tidak ada kesetaraan itu. Kesetaraan adalah impian manusia karena kelemahan dirinya sendiri dalam memandang kehidupan sekitarnya. Kesetaraan hanya ilusi manusia tentang dirinya sendiri dan membandingkan dengan manusia lain. Kesetaraan adalah kehausan manusia untuk keluar dari kulit yang memenjarakan dirinya sendiri seumur hidup.
Kesetaraan yang pasti antar manusia hanya kematian. Semua manusia hidup pasti mati. Kesetaraan yang tak terhindarkan. Kesetaraan yang pasti dan tak terpungkiri.
Kesetaraan Fasilitas
Ketiadaan kesetaraan fasilitas makin menenggelamkan manusia pada dunia ketidak-setaraannya. Membuatnya makin terkukung dalam dunia struktur sosialnya. Jepitan struktur sosial membuat manusia terkukung dalam kemiskinan, kebodohan, ketidak-tahuan, kegelapan, kemandegan di dunianya. Manusia berhenti untuk bergerak secara sosial. Ia bagai manjalani hidup pada garis datar. Ia hidup hanya untuk mati. Hanya karena adanya perlindungan hukum, ia tidak mati.
Kesetaraan fasilitas hanya bisa diciptakan oleh pemerintah. Pemerintahan yang korup mempertahankan ketiadaan fasilitas. Atau ketidak-setaraan fasilitas diciptakan agar mobilitas sosial masyarakat terkendali demi mempertahankan kepentingan kekuasaannya.
RT, RK, Desa, Camat adalah lembaga dasar di masyarakat paling bawah untuk mengontrol mobilitas sosial. Masyarakat berada dalam sekat-sekat dan terkotak-kotak. Menempati kotak yang lain perlu dikontrol karena akan menciptakan kesetaraan dan mengguncangkan kestabilan serta kemapanan sosial. Yang miskin tetap miskin. Yang punya fasilitas tetap mengenyam keistimewaannya tanpa kuatir direbut orang lain. Kelangkaan diciptakan agar prestige tetap terjamin mutunya.
Orang yang berada di posisi paling bawahlah yang menghendaki perlunya perubahan perbaikan kehidupan. Dan jumlah mereka terbanyak sebagai sumber hisapan pajak terbesar bagi pemerintah. Mereka juga penyumbang suara terbanyak dalam pemilihan umum. Yang terbanyak inilah perlu dikontrol dan diawasi. Mereka adalah sasaran empuk pengeruk suara dalam pemilu. Kadang juga sebagai sasaran empuk buat sapi perahan para penguasa formal maupun informal. Dana gardu siskamling, dana kebersihan, dana pengaspalan jalan, dana bikin keranda dan potongan-potongan dana lain.
Di tingkat kampung selain KTP ada RT, siskamling, hansip dan kartu keluarga. Kontrol pemerintah benar-benar sudah sampai pada kehidupan terdekat masyarakat. Hampir-hampir memasuki dunia privacy masing-masing orang. Kebebasan orang untuk bergerak makin tersendat. Alasan keamanan adalah alasan yang cari enaknya sendiri. Keamanan yang ditawarkan tidak sebanding dengan harga kebebasan individu untuk bergerak menembus struktur sosial dan memperbaiki hidupnya. Keamanan dikedepankan hanya demi menjamin berlangsungnya kekuasaan. Hanya penjajah yang bisa demikian takut dengan mobilitas masyarakatnya dan dianggap akan mempengaruhi kelangsungan kekuasaannya. Alasan keamanan hanya menguntungkan secara sepihak.
Fasilitas dan kesempatan diciptakan tidak bagi semua orang untuk membenarkan kontrol sosial. Fasilitas pemerintah hanya untuk orang ber-KTP yang disetujui. Fasilitas pemerintah hanya dinikmati oleh masyarakat yang melek hukum dan huruf.
Bagi masyarakat bawah, KTP sebagai harga mati. Tanpa KTP, kesempatan itu mati. Bagai perhiasan di balik etalase. Terlihat indah, mewah dan menggiurkan namun tak teraih. Hanya karena sepotong KTP, mobilitas sosial jadi mandek. Tersekat pada secarik kertas. Seolah kelahiran dan tempat tinggal adalah harga mati. Nasib dan keberuntungan menggantung padanya, pada secarik kertas bernama KTP.
KTP tidak hanya berfungsi hanya sebagai kartu identitas diri tapi juga sebagai kartu identitas sosial, kelompok, perkawinan, ras, suku dan keturunan. Membawa KTP seperti membawa orang sekampung. KTP bagai tanda keanggotaan sebuah sekte-sekte dan kelas-kelas sosial. Pelayanan sosial, kesehatan, kerja dan lain-lain tergantung KTP-nya.
Keterbatasan masyarakat bawah dalam ekonomi dan pendidikan makin memenjarakannya. Struktur sosial menekannya untuk berada di keterbatasan itu. KTP bagai gelang borgol. Membelenggunya kemanapun ia pergi. Bagai pesakitan. Kesetaraan makin menjadi impian dalam impian. Makin tak terjangkau. Pindah tempat dan pindah KTP adalah urusan tak terbayangkan. Njlimet bagai mengurai kembali kelahiran dan sejarah hidup. Pak RT cemburu karena mengendus kesempatan tetangganya mengalami perubahan nasib. Surat RT tidak semudah dikira. Perubahan nasib sudah terganjal pada tingkat dasar pada saat langkah baru setapak dimulai. Janin perubahan sosial sudah mengalami keguguran kandungan. Enggan untuk lahir dan hidup yang sudah digariskan manusia lewat lapis-lapis struktur sosial penguasa.*** (HBS)