DUA orang manusia satu agama saja bisa nggak cocok, bisa berantem, bisa saling maki, saling eksploitasi bahkan bisa saling bunuh. Bagaimana bisa yakin bahwa memilih pemimpin satu agama bisa baik? Obyektifitasnya dimana? Apakah realitis? Apa bukan hanya harapan dan angan-angan kosong belaka?
Pada saat dua orang manusia bersinggungan dalam ranah sosial, pada saat itulah sebenarnya seorang individu dipaksa untuk melakukan kompromi diri dengan kenyataan. Karena hanya dengan begitulah bisa tercipta hubungan sosial. Tanpa kompromi diri dengan manusia lain, diri itu bisa mati. Melawan kodratnya sendiri sebagai mahluk sosial.
Persinggungan antar dua orang manusia hanya mungkin jika ada kemauan melihat kepribadian orang lain dan menerimanya sebagai bagian dari kepribadian diri. Tanpa itu, orang lain akan dilakukan sebagai obyek. Manusia diperlakukan bukan manusia lagi, tapi lebih sebagai benda. Pada saat orang lain dilakukan sebagai benda, pada saat itu pula diri sendiri kehilangan pribadi sebagai manusia. Manusia yang kehilangan kepribadian sama saja dengan benda yang sekedar hidup.
Apakah agama bisa mendukung hidup? Dalam kerjasama antar manusia, jika agama dijadikan pegangan utama untuk keberlangsungan kerjasama, apakah agama bisa menjadikan orang tidak butuh uang, makan, seks, penghargaan diri, aktualisasi diri?
Dua orang manusia bersahabat karib dan satu agama pun, tidak akan bisa melulu hanya mendasarkan persahabatan mereka karena alasan kesamaan agama. Agama hanya memberi pandangan luar atas manusia lain. Kalau bahasa Jawa agama dianalogikan sebagai ageman (pakaian). Karena memang begitulah agama. Orang hanya bisa menilainya dari luar dan tidak bisa menukik ke kedalaman pribadi orang lain.
Kedalaman pribadi manusia yang punya dorongan biologis dan kejiwaan yang unik bagi seorang individu. Apa yang ada dalam diri pribadi individu kadang terlepas dari nilai-nilai agamanya. Karena tidak mungkin seseorang hingga dalam kehidupan privacynya selalu ingat tuhannya. Jika manusia bisa selalu ingat akan tuhannya, maka tidak ada lagi manusia yang merasa sengsara, menderita, terpuruk dan sebagainya. Semua manusia akan bahagia, selalu penuh senyum.
Dua orang manusia bersahabat kental dan satu agama pun tidak akan mempercayakan uangnya terhadap satu sama lain begitu saja dengan alasan kesamaan agama. Tidak akan membuka rahasia-rahasia hidupnya begitu saja karena alasan kesamaan agamanya. Ada bagian-bagian tertentu yang gelap yang tidak bisa diketahui masing-masing individu, meski sikap agama keduanya begitu sempurna. Karena pada hakekatnya masing-masing individu adalah entity berbeda, berdiri sendiri dan unik. Tidak ada dua manusia yang sama persis di dunia manapun. Beda kepala pasti beda identitas dirinya, meski pada manusia kembar siam yang beragama sama sekali pun.
Agama sendiri tidak bisa mendukung hidup. Tapi agama bisa membuat orang untuk bersemangat hidup. Agama bisa memberi pedoman orang agar hidup dengan baik dalam melakukan kerjasama dengan manusia lain. Agama memberi pedoman moral yang digariskan oleh “Tuhan” masing-masing agama. Agama adalah salah satu dari sekian banyak jalan dalam membantu manusia untuk lebih mengerti tentang arti hidupnya. Agama adalah salah satu dari sekian banyak jalan yang memberi penerangan diri pada saat manusia terpuruk dalam keheningan kesendiriannya.
Moralitas tidak selalu dari agama. Moralitas bisa lahir akibat adanya kerjasama antar manusia yang disetujui bersama. Moralitas bisa lahir dari pengalaman bersama antara sesama manusia. Moralitas bisa diwujudkan lewat peraturan-peraturan, perundangan, hukum-hukum bikinan manusia. Moralitas yang lahir karena adanya kontrak sosial. Moralitas yang lahir dari adat turun temurun menusianya.
Moralitas yang lahir karena adanya ketersinggungan dengan manusia lain terlahir tanpa bisa dibendung karena keterbatasan daya pikir manusia sendiri. Moralitas yang lahir tanpa peranan agama bahkan tanpa “tuhan”. Manusia yang super genius pun tidak mungkin bisa berpikir di luar batas-batas pemikirannya sendiri. Manusia selalu mengalami kesulitan untuk memahami diri sendiri.
Karena keterbatasan daya pikir manusia itulah, maka manusia tidak akan mungkin bisa mengerti dengan pas pedoman-pedoman yang digariskan oleh masing-masing tuhannya. Manusia tidak akan mungkin bisa berpikir seperti Tuhan. Dibanding Tuhan, manusia itu bagai sebutir debu pasir di pinggir pantai lautan yang luas. Tidak layak dibandingkan dengan kebesaran tuhannya. Demikian kecil nilainya. Karena demikian kecil nilainya itulah justru jadi berharga sebagai manusia. Karena itulah eksistensi dan jati diri sebagai manusia sebenar-benarnya.
Setiap manusia adalah sebuah entity yang terpisah dan unik. Setiap manusia terpenjara oleh kulitnya sendiri. Mencari keseragaman berdasar paham, ide, agama, ras, keturunan, antar golongan adalah pemenuhan mimpi manusia karena keadaan dirinya yang lemah dan secara entity terpisah sebagai pribadi. Mengidamkan kesamaan dalam banyak hal di segi kehidupan adalah impian siang hari yang bolong.
Manusia untuk bisa hidup sejahtera dan damai bukan karena keseragaman yang mustahil dicapai, tapi keselarasan dari berbagai perbedaan unik sebagai pribadi. Keselarasan yang mengorbankan sebagian kepentingan pribadinya dan mengakui pribadi orang lain sebagai bagian dari pribadinya sendiri. Begitulah seharusnya hidup sesama manusia agar setiap pribadi menemukan arti hidup bagi dirinya sendiri. *** (HBS)