WAKTU pulang kampung tahun kemarin, aku sempat andhok di warung kecil pinggir jalan di depan pabrik gula Kanigoro. Setiap pulang kampung selalu aku sempatkan untuk sepeda montoran keliling desa. Cuci mata dan menikmati keadaan. Mencoba mereka-reka untuk hidup ala kadarnya, apa adanya, sederhana dan tidak menggantungkan diri pada arus deras budaya masa.
Aku pesen wedang kopi pada ibu penjaga warung. Perempuan sederhana yang siang itu ditemani oleh anak gadisnya yang masih duduk di SD. Anak gadis SD itu tersipu malu ketika kupuji, betapa baiknya ia telah membantu ibunya menjaga warung.
“Lha nggih mas.. teng griyo kalih mbahe nggih tukaran mawon kalih adine,” kata ibu penjaga warung itu tanpa aku tanyai.
Ibu itu segera memasak air. Sambil nunggu, aku bukai satu-satu penutup makanan. Aku ambil pisang goreng yang sudah dingin. Satu kunyahan sudah habis kutelan utuh-utuh. Lalu aku ambil tahu susur dan beberapa biji lombok. Segera aku sumpalkan ke mulutku. Dari samping bibirku, aku telusupkan biji lombok itu. Mak klethus, kugigit ujung lombok dengan gigi samping. Kucampur dengan tahu dalam kunyahan. Terasa segar sekali. Sempat mikir, kenapa hidup dibikin begitu susah jika begini saja sudah terasa nikmat? Nyapo lho aku ki kok adoh-adoh nggolek pangan neng luar negeri barang?
Beberapa menit kemudian, kopi itu terhidang. Di gelas kecil. Ada tumpahan kopi di pinggir gelas. Butir-butir kopi itu masih menempel. Belum kering benar. Dalam aroma kopi tercium bau jagung bakar.
“Suwun buk,” kataku menerima kopi itu. Beberapa airnya tumpah ke lepek.
Aku bawa kopi itu keluar warung, kuletakan di atas lincak di depan warung. Aku duduk hati-hati karena lincak yang bergoyang, menyampingi kopi sambil menikmati lalu lalang orang naik sepeda motor. Beberapa membawa kranjang di samping motornya berisi rumput dan hasil kebun lainnya. Entah sudah berapa tahun umur sepeda motor itu. Tinggal yang pokok-pokok saja kelihatan. Roda, mesin dan sadel. Selebihnya tidak ada.
Nafasku sempat berhenti sekejab ketika kulihat tumbuhan perdu di depan warung. Di selokan kecil depan warung itu tumbuh dengan suburnya pohon kemangi. Ya, pohon kemangi! Daun kemangi yang nampak hijau itu menekan dadaku. Daun pohon yang tumbuh liar itu sempat membuatku sedih, iri, jengkel dan perasaan lain. Campur aduk. Betapa tidak adilnya dunia ini.
Kemangi di Kebunku
Aku mengingat kembali pohon kemangiku di Ostralia yang aku tinggal untuk liburan. Begitu susahnya mendapatkan pohon kemangi itu. Setiap tahun di musim semi dan panas aku selalu was-was karena pohon kemangi itu. Kuatir biji-biji yang aku semai dari panenan tahun lalu tidak bersemi. Sudah berkali-kali aku gagal menyemaikan.
Pernah hampir setahun aku tidak makan daun kemangi dan puluhan tahun hidup di Ostralia tanpa bisa melihat tanaman kemangi. Rindu pingin makan daun kemangi kadang nggak ketulungan. Toko-toko penjual tanaman kebun sudah aku telusuri dan tidak menemukan pohon itu.
Di bagian biji-bijian juga tak pernah aku lihat biji pohon kemangi. Rupa dan bentuk daun dalam pembungkus biji-bijian seperti pohon kemangi, tapi ketika aku tanam dan kemudian tumbuh subur ternyata jauh dari bau daun kemangi. Ada satu biji yang mendekati bau daun kemangi yakni, lemon balm. Hampir sama tapi masih kalah baunya dibanding daun kemangi. Baunya lebih menyengat, demikian juga rasanya. Tapi sudah lumayanlah untuk mengurangi rasa kangen.
Lima tahun lalu secara tidak sengaja aku menemukan pohon kemangi itu. Di pasar orang Vietnam. Entah dari mana mereka bisa mendapatkan pohon kemangi itu. Sebatang pohon kemangi dalam pot itu dijualnya seharga $15.00. Harga yang tidak murah.
Membawa benih ke Australia adalah perbuatan melanggar hukum. Bisa kena denda. Hal yang paling dikuatirkan adalah bila biji itu membawa hama. Australia yang letak benuanya lumayan terisolasi amat dilindungi habitatnya. Bila hama masuk Ostralia, tamatlah kehidupan tanaman yang diserang. Ostralia tanahnya tidak sesubur Indonesia. Hanya 0.5% persen saja tanah di Ostralia yang mendapat irigasi secara tetap. Bayangkan jika yang 0.5% persen itu tanamannya terserang hama dari luar negeri yang tidak ada musuh alaminya.
Aku cium berkali-kali daun pohon dalam pot itu untuk meyakinkan bahwa ini pohon kemangi. Ketika yakin, aku langsung beli satu. Mau beli dua, tapi ragu. Ia kalau bisa tumbuh, kalau mati bisa jadi pemborosan. Kupikir aku beli satu saja, toh kalau bisa tumbuh subur bisa berbunga dan beranak pinak?
Pohon kemangi itu tumbuh subur dan berbunga. Senang sekali melihatnya. Cuaca Ostralia yang ekstrim kadang membuatku kuatir. Karena suhu udara kadang tiba-tiba bisa demikian panas mencapai 39 derajat di musim panas.
Aku petik beberapa daunnya untuk lalapan. Segar sekali rasanya. Apalagi kalau dibikinkan pecel dan bothok. Terasa lagi berada di surga. Sebuah pengalaman langka. Makan daun kemangi dari kebun sendiri di Ostralia!
Kekuatiranku bahwa tanaman itu tidak akan berumur panjang menjadi kenyataan. Mimpi buruk itu secara pelan dan pasti bergerak di depan mataku tanpa bisa berbuat banyak. Pohon kemangi itu secara pelan daunnya menguning dan batangnya mengering. Aku selamatkan bunga-bunga keringnya sambil berharap bisa aku semai nanti di musim semi berikutnya. Aku potong beberapa tangkainya dan aku tancapkan dalam pot semai. Pangkalnya aku kasih hormon penumbuh biar akar bisa tumbuh subur. Aku pindah tanaman itu di dalam ruang.
Tapi usahaku itu ternyata sia-sia belaka. Semua tanaman kemangi itu mati tanpa menyisakan anak turunnya. Punah sudah harapanku. Ditinggal selamanya oleh pohon kemangi yang cuma sebatang kara itu. Lalu ketika musim dingin tiba, ingatanku tentang pohon kemangi itu pupus. Tidak ada gunanya meratapi yang sudah tidak ada.
Bunga kering yang sempat aku selamatkan aku simpan rapi di gudang. Aku masukkan tempat yang aman biar nggak kemakan rengat atau tikus. Siapa tahu bisa aku semai dan mendapatkan kembali kemangi baru tahun depan nanti.
Pada musim semi tahun berikutnya dengan semangat aku beli media tanah khusus penyemai. Aku taruh dalam pot agar mudah aku pindah-pindah bila kepanasan. Lalu aku taburkan bunga kemangi hasil panenan tahun lalu. Aku siangi dengan rajin agar tanahnya selalu lembab. Aku tunggu dengan sabar satu minggu, dua minggu dan akhirnya sampai sebulan. Biji-biji kemangi itu tidak nampak batang hidungnya. Tidak ada yang tumbuh satu pun! Yang tumbuh subur malah tanaman lain sejenis rumput yang oleh orang Ostralia rajin banget dicabuti karena dianggap hama (weed).
Survival
Harapan yang tinggal secuil itu kini benar-benar musnah. Ya, sudah, hiburku. Nggak makan daun kemangi nggak patheken. Ora bakal mati. Aku buang tanah penyemai itu di tanah dekat tanaman lainnya di kebun. Bersama itu pula aku campakkan harapanku.
Lalu tiga bulan berikutnya, ketika musim semi beralih ke musim panas, ketika harapan itu menguap tak tahu kemana jluntrungnya, tiba-tiba di dekat pagar, di antara bebatuan aku lihat tanaman itu. Seperti tumbuh dengan kesepian di sela batu-batuan. Benarkah itu pohon kemangi? Aku bergegas berjongkok menghampiri dan memetik daun kecilnya. Aku remas-remas daun kecil itu dan aku ciumi. Bau aku kenal itu segara menyeruak mengisi rongga hidungku. Benar! Ini pohon kemangi. Bagaimana bisa tumbuh di sini? Bagaimana mungkin ia bisa hidup sementara semuanya menemui ajalnya?
Penemuan ini bagai berita gembira telah menemukan harta karun. Aku kabarkan pada seluruh keluarga. Mereka bergegas mendatangi dan melihat sendiri pohon kemangi itu. Merona wajah mereka ketika dengan hidungnya sendiri mencium daun pohon itu dan yakin itu pohon kemangi.
Aku pun cerita panjang lebar. Pohon kemangi itu pertamanya kupikir sejenis rumput. Hampir saja aku semprot dengan cairan pembasmi rumput. Untung aku sempat melihat perbedaannya. Terkena sedikit saja cairan pembasmi rumput itu, tamatlah riwayatnya.
“Kok untungnya kau sempat melihatnya. Wah…wah… untung sekali,” kata keluargaku.
“Cepat dipindah ke tempat yang aman. Taruh dalam pot biar tumbuh subur,” lanjutnya seperti main perintah.
Aku pindah batu-batuan sekitar tanaman itu. Aku gali tanah sekitarnya dengan hati-hati agar tak memotong akarnya. Aku pindah ke pot yang aku sediakan. Dalam hati aku berjanji akan merawat tanaman ini dengan baik hingga beranak pinak. Tak akan terulang pengalaman tahun lalu.
Kejadian tahun lalu itu kini masih menggores di pikiranku. Tanaman kemangi satu-satunya yang bisa survive itu ternyata punya daya juang hidup yang luar biasa gigih. Ia berkembang dengan subur dan berbunga luar biasa banyak. Begitu ada sebagian bunganya yang kering segera aku semaikan di tempat lain. Senang sekali ketika mendapati ada lebah yang berdua atau bertiga menggauli bunga-bunga kecilnya. Aku diamkan. Aku beri waktu untuk menikmati madunya. Biar benang sari itu jadi biji. Diam-diam aku ucapkan terimakasih pada lebah-lebah kecil itu. Lebah kok nggiantheng sekali, pujiku.
Kini aku punya cadangan biji lumayan banyak. Namun aku tak ingin mengulang pengalaman tahun-tahun lalu. Meski punya cadangan biji cukup banyak, aku tetap membiarkan beberapa pohon untuk bebas tumbuh, berkembang dan berbunga. Aku taruh dalam pot gantung agar aman dari bekicot dan ulat. Daunnya tidak aku ganggu. Aku bedakan mana tanaman yang bisa dipetik dan mana yang untuk pembibitan. Berjaga-jaga jangan sampai kehabisan benih. Karena pada musim dingin, pohon kemangi itu pasti jadi almarhum semua.
Beruntunglah kau, di sini ada orang yang memperhatikan kesejahteraanmu. Di tempat asalmu, kau bakal mengais-ngais makanan di dekat selokan. Tak ada yang peduli kau mati atau hidup ala kadarnya.*** (HBS)